Cerita Prabowo Sarankan Soeharto Mundur dari Jabatan Presiden
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Dwi Arjanto
Sabtu, 6 April 2019 04:50 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Calon presiden 02 Prabowo Subianto mengaku dirinya pernah menyarankan agar Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden kala itu.
Prabowo mengatakan usul itu dia sampaikan sebagai upaya ikut mengoreksi rezim Orde Baru dari dalam, kendati pucuk pimpinan rezim itu adalah mertuanya sendiri.
Baca : Kerap Dihina, Prabowo Senang Kini KPK Sebut Ada Kebocoran Anggaran Negara
"Waktu itu saya ikut menyarankan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri," kata Prabowo saat menghadiri acara Silaturahmi Gerakan Elaborasi Rektor, Akademisi Alumni, dan Aktivis Kampus Indonesia di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Jumat malam, 5 April 2019.
Prabowo awalnya berbicara tentang apa masalah yang dihadapi bangsa Indonesia. Dari analisisnya, Prabowo menemukan bahwa persoalan yang dihadapi Indonesia ialah mengalirnya kekayaan bangsa Indonesia ke luar negeri. Imbasnya, rakyat Indonesia tak bisa menikmati apa yang menjadi kekayaan bangsanya sendiri.
Prabowo mengatakan permasalahan ini terjadi lantaran para elite gagal mengelola kekayaan Indonesia. Dia pun mengakui sempat menjadi bagian dari elite tersebut.
Namun, lanjut Prabowo, tiba pada saatnya dia diharuskan mengambil keputusan siapa yang akan lebih dibela: apakah keluarga, atau bangsa, negara, dan rakyat Indonesia.
"Bukan karena saya tidak loyal sama Pak Harto, justru karena saya loyal sama Pak Soeharto. Justru karena saya cinta sama Pak Harto," kata dia.
Dia mengibaratkan, lantaran cinta kepada Soeharto itulah dia menilai sudah saatnya presiden kedua tersebut beristirahat. Tampuk kepemimpinan, ucapnya, sudah waktunya diberikan kepada generasi berikutnya yang lebih muda.
"Ibarat kalau kita cinta sama orang tua dan kita lihat orang tua memang dalam keadaan yang sulit, mungkin dari segi kapasitas fisik, kapasitas usia, sudah saatnya orang tua kita istirahat," ucap mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus ini.
Simak juga :
Antisipasi Kecurangan, Prabowo Targetkan Menang dengan Selisih 25 Persen
Gelombang reformasi yang menghendaki berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan Soeharto memuncak pada 1998. Prabowo mengaku dirinya dan kawan-kawannya kala itu juga ikut mendukung gerakan ini.
"Dengan kawan-kawan kami melancarkan, kami mendukung gerakan reformasi waktu itu, walaupun pemimpin rezim yang berkuasa pada saat itu adalah mertua saya sendiri," demikian Prabowo.
Sebelumnya, dalam buku “Kasad dari Piyungan”, mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Subagyo HS menuturkan karir milier Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Letnan Jenderal Prabowo Subianto sekitar Mei 1998.
Pada 22 Mei 1998, di buku itu Jenderal Subagyo menerima perintah dari Panglima ABRI Jenderal Wiranto untuk mencopot Pangkostrad di hari itu juga.
Prabowo menerima perintah itu dengan syarat jabatan Pangkostrad diserahkan kepada KASAD dan bukan kepada penggantinya. Hari itu tongkat komando lalu diserahkan ke Subagyo.
Di Majalah Tempo edisi 28 Oktober 2013, Dewan Kehormatan Perwira (DKP) bentukan Wiranto merekomendasikan pemberhentian dari Prabowo dari dinas keprajuritan. DKP memberhentikan sebagai Pangkostrad atas perannya dalam kasus penculikan belasan aktivis pro demokrasi pada 1997-1998.
Di Majalah Tempo edisi 29 Desember 1998, setelah Mei 1998 Prabowo terbang ke Amman, Yordania.
Dalam catatan koran News Strait dan AP News, Prabowo dikabarkan mendapat tawaran status kewarganegaraan dari Pangeran Abdullah II. Namun tawaran ini ditolak Prabowo. Pangeran Abdullah II yang kemudian pada 1999 menjadi Raja Yordania adalah sohib Prabowo di sekolah militer. Prabowo kembali ke Indonesia pada November 2001.
Catatan :
Artikel berita ini telah diubah pada Sabtu, 6 April 2019 pukul 09.31 untuk menambahkan konteks sejarah sekitar peristiwa Mei 1998.
Terima kasih.