Mengukur Kekuatan Narasi Politik Jokowi Vs Prabowo
Reporter
Dewi Nurita
Editor
Rina Widiastuti
Rabu, 3 April 2019 07:44 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sudah 10 hari kampanye terbuka pemilih presiden berlangsung, sejak 24 Maret 2019. Sejumlah titik telah didatangi dua calon presiden yang berlaga di pemilihan presiden 2019, Joko Widodo atau Jokowi dan Prabowo Subianto. Keduanya membawakan narasi yang berbeda di tengah masyarakat.
Baca: 5 Alasan Elektabilitas Jokowi Ungguli Prabowo Versi LSI Denny JA
Lalu seperti apa kekuatan narasi politik dua calon presiden ini meyakinkan masyarakat?
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai, narasi politik Jokowi dan Prabowo sama-sama kuat. Jokowi tetap dengan narasi lama soal klaim kesuksesan membangun bangsa. Sedangkan, Prabowo konsisten menarasikan diskursus lama tentang kegagalan Jokowi memerintah selama ini.
"Jokowi mengglorifkasi infrastruktur, KIP (Kartu Indonesia Pintar), KIS (Kartu Indonesia Sehat) itu efektif. Jika mayoritas rakyat merasakan program-program itu, otomatis (Jokowi) akan terpilih kembali. Faktor rasionalitas pemilih akan menjadi penentu kemenangan Jokowi," ujar Adi Prayitno saat dihubungi Tempo pada Selasa malam, 2 April 2019.
Sementara itu, narasi Prabowo yang menuding kemiskinan masih banyak, orang menganggur signifikan, harga-harga sembako mahal sehingga emak-emak kesulitan, nilai tukar rupiah anjlok, utang menumpuk, dan seterusnya, merupakan suatu narasi antitesis terhadap klaim sukses Jokowi.
"Jika mayoritas rakyat merasa hidupnya makin susah, negara salah urus, dan ekonomi tak stabil, maka Prabowo sebagai penantang yang menjanjikan perubahan berpeluang menang," ujar dia.
Baca juga: Indo Barometer: Mayoritas Pemilih Tak Kenal 3 Kartu Sakti Jokowi
Menurut Adi, narasi dua capres ini sama kuatnya, tergantung bagaimana konsolidasi isu tersebut diterjemahkan ke level pemilih yang bisa dikonversi menjadi dukungan suara. "Dua minggu waktu tersisa harus dimanfaatkan secara maksimal untuk meyakinkan pemilih dengan serangan darat dan serangan udara secara seimbang," ujar dia.
Jika mengikuti kampanye terbuka Jokowi dan Prabowo, narasi dua paslon ini memang sangat berbeda. Jokowi fokus menyampaikan empat hal. Pertama, dia mengimbau masyarakat untuk tak percaya akan berbagai isu miring dan hoaks yang menyerang dirinya. Kedua, Jokowi menyampaikan capaian-capaian pembangunan infrastruktur dan menjanjikan percepatan penyelesaian. Ketiga, Jokowi menjanjikan tiga kartu yakni Kartu Sembako Murah, KIP Kuliah, dan Kartu Pra-kerja. Terakhir, Jokowi mengimbau masyarakat untuk tidak golput dan meminta pendukungnya datang ke TPS mengenakan baju putih.<!--more-->
Narasi-narasi itu selalu disampaikan Jokowi di setiap titik kampanye terbukanya. Sementara Prabowo Subianto memiliki banyak celah mengangkat isu yang berbeda-beda di setiap kampanye-nya. Kendati, yang disampaikan Prabowo juga hampir semuanya tentang kegagalan Jokowi dan retorika perubahan seperti janji mengubah Indonesia dalam 100 hari, meskipun tanpa program konkret yang ditawarkan kepada masyarakat.
Baca: Sebut Sudah 11 Kali ke Papua, Jokowi Targetkan 80 Persen Suara
Menurut Adi, narasi Prabowo akan tetap negatif dan konsisten mengkapitalisasi kelemahan inkumben. Kerja politik Prabowo, kata dia, tidak didasarkan pada survei melainkan didasarkan pada keyakinan membludaknya massa yang datang di setiap kampanye Prabowo.
"Apalagi Prabowo punya alat bantah terhadap survei yang kerap meleset seperti pilkada DKI, Jabar, dan Jateng. Kerja Prabowo lebih kepada dukungan rakyat langsung," ujar dia.
Sementara itu Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago menilai, baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama masih dangkal narasinya karena belum detail dan belum menjawab apa yang sedang ditunggu-tunggu publik. "Narasi perut rakyat yang harus diperdalam," ujar Pangi saat dihubungi terpisah.
Dia menyebut, keringnya narasi politik Jokowi dan Prabowo inilah yang menjadi alasan angka undecided voters belum menyusut signifikan, masih di kisaran 10-15 persen. "Ini semua karena rakyat tidak yakin dengan janji dan menu narasi yang mereka sajikan untuk bisa dilahap," ujar Pangi.
Survei Cyrus teranyar Indobarometer, sebulan menjelang hari-H pencoblosan menunjukkan, Jokowi-Ma’ruf Amin masih unggul dengan elektabilitas 50,8 persen, sedangkan Prabowo-Sandiaga Uno 32 persen dan pemilih yang belum menentukan pilihan 17,2 persen.
Jika suara pemilih yang belum menentukan pilihan dibagi secara proporsional, Indo Barometer memproyeksikan Jokowi-Ma’ruf mendapatkan 61,3 persen suara pada 17 April. Namun, kalkulasi matematis itu disebut bisa berbalik merugikan bila para pendukung Jokowi-Ma’ruf memilih golput atau tidak mendatangi TPS. Sebaliknya, pendukung Prabowo-Sandi dikenal militan.
Baca juga: Amien Rais Ancam People Power, Jokowi: Jangan Menakuti Rakyat
Peneliti Indo Barometer Hadi Suprapto Rusli menghitung-hitung kekalahan Jokowi-Ma’ruf dimungkinkan jika 40 persen pendukungnya saat disurvei tidak datang memilih. “Jadi golput ini pekerjaan rumah terbesar Jokowi-Maruf. Golput menjadi variabel yang dapat membatalkan kemenangan,” kata Hadi saat merilis hasil survei lembaganya, Selasa, 2 April 2019.