TEMPO.CO, Jakarta - Calon Wakil Presiden nomor urut 01 Ma'ruf Amin, menjelaskan sejarah dipilihnya tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional saat bersilaturahmi ke Pondok Pesantren Al Manshur Popongan, Desa Tegalgondo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten, pada Rabu sore, 24 Oktober 2018.
Baca juga: Cak Imin Sebut Alasan Kenapa Suara Santri Diperebutkan di Pemilu
"22 Oktober (1945) itu ada peristiwa penting yang menentukan apakah kemerdekaan Indonesia akan berlanjut atau tidak," kata pendamping calon Presiden Joko Widodo itu di hadapan ratusan santri yang duduk bersila di menyimak tausiahnya.
Ma'ruf mengatakan, setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, Belanda datang dengan kekuatan penuh untuk kembali menjajah. "Ketika itu tentara, polisi, belum terkonsolidasi. Tampillah ulama besar Hadratussyeikh K.H Hasyim Asy'ari, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, yang mengeluarkan fatwa jihad. Bahwa hukum melawan penjajah itu fardhu 'ain (wajib)," kata Ma'ruf.
Fatwa Hasyim Asy'ari tersebut, kata Ma'ruf, kemudian ditindaklanjuti oleh rapat besar Nahdlatul Ulama menjadi Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. "Resolusi Jihad itu yang membakar semangat rakyat dan menginspirasi Perang 10 November di Surabaya. Penjajah terusir, NKRI tegak kembali," kata Ma'ruf disambut riuh tepuk tangan.
Ma'ruf berujar, 10 November sudah berpuluh tahun lamanya diperingati sebagai Hari Pahlawan. Namun, peristiwa penting lahirnya Resolusi Jihad yang memicu pertempuran bersejarah itu dilupakan. "Dulu tidak ada Hari Santri Nasional. Baru sesudah 70 tahun, pada 2015, ditetapkanlah oleh presiden kita bapak Joko Widodo. Alhamdulillah," ujar Ma'ruf.
Baca juga: Ma'ruf Amin Sampai Cak Imin Hadiri Apel Hari Santri Nasional
Menurut Ma'ruf, penetapan Hari Santri Nasional musti menjadi momentum bagi para santri di seluruh pondok pesantren di Indonesia untuk melanjutkan perjuangan para ulama dalam menjaga keutuhan NKRI.
Ma'ruf menambahkan, dalam rangka memeringati Hari Santri Nasional, dirinya sudah menempuh perjalanan selama berhari-hari untuk bersilaturahmi ke pondok-pondok pesantren. "Setelah hadir di Tasikmalaya saya tidak pulang, tapi langsung ke Cirebon. Terus ke Palangkaraya, ke Solo, dan sekarang ke Klaten," kata Ma'ruf yang menolak disebut tua meski sudah berumur 75 tahun itu.