TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat terorisme dan radikalisme, Ridlwan Habib, mengatakan polarisasi antara organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam di Indonesia masih kental meski elite politik telah menunjukkan rekonsiliasi lewat politik nasi goreng.
"Di elite politik iya (rekonsiliasi). Prabowo ketemu di MRT. Prabowo makan nasi goreng. Tapi di grassroot itu belum muncul. Itu yang harus dicari solusinya," kata Ridlwan seusai menjadi pembicara diskusi bertajuk Tren Gaya Hidup Hijrah: Peluang atau Ancaman Bagi NKRI, di Jakarta, Kamis, 25 Juli 2019.
Menurut Ridlwan urgensi menyelesaikan polarisasi antar umat Islam perlu segera didialogkan lantaran adanya kekhawatiran terjadinya perpecahan di tahun politik 2024. "Karena saya menduga akan lebih kental perpecahannya. Kalau segregasi dan polarisasi tidak dijembatani dialognya, saya duga 2024 kita hadapi era pilpres yang lebih brutal dari 2019," katanya.
Jika polarisasi tak segera dinetralisir, Ridlwan khawatir ada tiga ancaman utama bagi Indonesia. Pertama, adalah ancaman keamanan yang menurutnya relatif dapat dikendalikan oleh Densus 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Kedua adanya ancaman politik yang berpotensi menganggu sistem pancasila dan diganti menjadi khilafah dan NKRI Bersyariah. Ketiga adalah ancaman sosial budaya, dimana kerukunan hilang. "Antar ormas saling tuding dan tidak harmonis. Itu yang bahaya. Bukan karena faktor terorisme. Itu ada, tapi kecil. Yang lebih mengkhawatirkan adalah segregasi sosial budaya. Itu muncul dari gaya hidup," katanya.