TEMPO.CO, Jakarta - Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang diketuai oleh Ma'ruf Amin soal penistaan agama oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pada Oktober 2016 berbuntut panjang. Sejumlah organisasi kemudian bergabung dan mengatasnamakan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI. Mereka pun memobilisasi massa untuk menggelar unjuk rasa bertajuk Aksi Bela Islam.
Baca: Jadi Cawapres, Maruf Amin: Ulama dan NU Harus Dukung Jokowi
Goal dari gelombang unjuk rasa yang digelar pada 4 November atau 411 dan 2 Desember (212) ini adalah menyeret Ahok, sapaan Basuki, ke meja hijau. Keinginan mereka berhasil. Ahok, yang merupakan partner Joko Widodo atau Jokowi selama memimpin DKI Jakarta, sekarang masih mendekam di Rumah Tahanan Salemba Cabang Mako Brimob. Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis Ahok dua tahun penjara.
Dalam wawancara dengan Majalah Tempo pada awal Juni 2017, Ma'ruf Amin, yang sekarang menjadi cawapres Jokowi dalam Pilpres 2019, mengatakan Fatwa MUI tidak ada sangkut pautnya dengan GNPF. "Tidak ada hubungan. MUI hanya mengeluarkan fatwa," kata Ma'ruf Amin kala itu di rumahnya yang ada di Koja, Jakarta Utara.
Berikut petikan wawancara Ma'ruf Amin dengan wartawan Tempo Reza Maulana dan Raymundus Rikang seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 19 Juni 2017:
Apa hubungan MUI dengan Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI?
Tidak ada hubungan. MUI hanya mengeluarkan fatwa. Masyarakat membuat gerakan yang menggunakan isu fatwa penistaan agama dengan nama Pembela Fatwa MUI. Kami tidak pernah menyuruh dan memfasilitasi.
Tapi ada Bachtiar Natsir, Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI, di pucuk pemimpin gerakan itu?
Dia di dewan pertimbangan. Jarang sekali berkomunikasi dengan kami di dewan pengurus. Keterlibatan orang MUI bersifat personal atau mewakili organisasi dia, bukan MUI.
Dengan label MUI dalam gerakan mereka, sulit memisahkan MUI dengan demo-demo besar anti-Ahok.
Itu fatwa MUI, bukan MUI.
Apa yang mendasari pengawalan fatwa?
Saya tidak mendalami. Kami hanya menginginkan proses hukum di kepolisian dan pengadilan, selesai. Saya menganggap Aksi 2 Desember sebagai yang terakhir karena tuntutan menyidangkan Ahok sudah didengar. Maka, ketika ada seruan Tamasya Al-Maidah saat pencoblosan pilkada DKI dan Aksi 31 Maret, saya bilang tidak perlu lagi. Kami tak ingin terjadi pembelokan isu.
Anda sepakat dengan dugaan polisi bahwa rentetan demo itu ditunggangi gerakan makar?
Itu yang saya khawatirkan. Makanya pada 212 saya arahkan agar tak ada orasi. Jemaah diminta duduk, mendengarkan tausyiah dan berzikir, supaya lebih adem. Dalam diskusi dengan panitia dan kepolisian, saya juga mengarahkan aksi dipusatkan di Monas. Berbahaya kalau dilakukan di Thamrin seperti keinginan panitia.
Simak juga: Jejak Karir Ma'ruf Amin Sebelum Jadi Cawapres Jokowi
Menurut Bapak Ma'ruf Amin, apa bahayanya?
Kepala aksi di Bundaran HI, buntutnya di DPR. Buntut itu bisa tiba-tiba jadi kepala dan arah demo berubah jadi politik.