Peneliti CSIS Arya Fernandez menyampaikan hasil survei teranyar lembaganya di Hotel Fairmont, Jakarta pada Kamis, 28 Maret 2019. TEMPO/Dewi Nurita
TEMPO.CO, Jakarta- Hasil analisis Center for Strategic and International Studies (CSIS) soal golput berbeda dengan survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA. Jika LSI menyebut kubu Jokowi lebih dirugikan terhadap angka golput tinggi, CSIS menilai sebaliknya.
"Dari segi kemantapan pemilih, petahana tidak perlu khawatir hilangnya suara karena golput. Harusnya yang perlu khawatir penantang (Prabowo) karena elektabilitasnya lebih rendah dari petahana," ujar peneliti CSIS Arya Fernandez saat memaparkan hasil survei mereka di Hotel Fairmosaat Jakarta, Kamis, 28 Maret 2019.
Menurut hasil sigi CSIS, dari basis suara 51,4 persen, kemantapan pemilih Jokowi - Ma'ruf sebesar 84,4 persen. Sedangkan Prabowo dengan basis 33,3 persen, kemantapan pemilihnya sudah 81,3 persen. Dengan kata lain, angka golput dinilai tidak akan mengubah jauh suara kedua pasangan calon. "Dalam hal ini, persoalannya tinggal siapa pemilih lebih militan, lebih solid dan lebih kerja keras untuk mendakwahkan orang ke TPS," ujar dia.
Sebelumnya hasil sigi Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebutkan bahwa Jokowi paling dirugikan jika angka golput di pemilihan presiden 2019 besar. Peneliti LSI Ikrama Masloman merinci Jokowi dirugikan jika golput banyak terjadi di segmen minoritas, milenial, wong cilik (rakyat kecil), dan muslim moderat.
"Sementara Prabowo - Sandi hanya dirugikan jika golput banyak terjadi di segmen kalangan terpelajar dan muslim dari FPI, HTI, jaringan PKS, dll," ujar Ikrama di kantornya, Jalan Pemuda, Jakarta Timur pada Selasa, 19 Maret 2019.