TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan mengkaji kembali berkas kasus 27 Juli 1996 atau Kudatuli. "Prinsipnya begini, Komnas HAM lembaga terbuka. Tentu apa yang Hasto sampaikan akan kami pelajari dan proses sesuai standar di sini," ujar Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab di kantornya, Jumat, 27 Juli 2018.
Simak: PDIP Tuding SBY Terlibat Kasus Penyerangan 27 Juli 1996
Pada Kamis, 26 Juli, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto bersama dengan sejumlah pengurus partai mengadakan pertemuan dengan Ketua Komnas HAM. Ia menyatakan segera membuat surat resmi untuk melaporkan dugaan pelanggaran HAM yang terjadi pada 27 Juli 1996 atau Kudatuli.
Laporan itu, kata Hasto, menyusul keputusan Kongres PDIP yang menginginkan semua kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat diungkap. “Tidak hanya kasus 27 Juli, tapi juga persoalan-persoalan pada awal reformasi, kasus Semanggi, Trisakti, dan Tanjung Priok,” katanya.
Baca: Demokrat Sebut Kudatuli Menjadi Komoditas PDIP Menyerang SBY Setiap Pemilu
Urusan Kudatuli menjadi ramai dibicarakan belakangan karena kasus ini menyeret Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kubu PDIP menuding SBY tahu atau diduga terlibat peristiwa itu.
Peristiwa ini sebenarnya terjadi 22 tahun yang lalu, tepatnya pada 27 Juli 1996. Semua bermula saat terjadinya dualisme di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (nama awal PDIP). Ketua Umum PDI hasil kongres Medan, Soerjadi, menyerbu dan menguasai kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, yang dikuasai Ketua Umum PDI kongres Surabaya, yaitu Megawati Soekarnoputri.
Penyerbuan ini diduga kuat melibatkan unsur militer, terutama dari Komando Daerah Militer Jaya. Sebab, saat itu, pemerintah yang dipimpin Presiden Soeharto tidak menyukai dan tidak memberi restu kepada PDI pimpinan Megawati.
Simak: Tiga Kesaksian Ini Singgung Peran SBY di Kudatuli
Dugaan keterlibatan tentara ini semakin menguat setelah adanya pengakuan dari Yorrys Raweyai yang kala itu aktif di Pemuda Pancasila. Politikus Partai Golkar ini ditahan polisi setelah kejadian tersebut karena terbukti mengerahkan massa "untuk mengamankan lingkungan" kantor PDI pimpinan Megawati. Pengerahan itu, kata dia, dilakukannya atas perintah Asisten Intelijen Kodam Jaya, Kolonel Haryanto.
Tak lama setelah Yorrys ditahan, salah seorang pengacaranya melemparkan bola panas. "Mustahil Kolonel Haryanto meminta Yorrys tanpa ada perintah atasan," katanya sebagaimana dikutip dari majalah Tempo edisi 24 April 2000. Meski tidak menyebut nama, tudingan itu tepat mengarah kepada Sutiyoso, yang kala itu menjabat Panglima Kodam Jaya. Benar saja, akhir 2004, polisi menetapkan Sutiyoso sebagai tersangka.
Simak juga: Wawancara Majalah Tempo, SBY Menolak Disebut Terlibat Kudatuli
Dalam insiden yang menyebabkan lima orang meninggal dunia ini, SBY yang menjadi bawahan Sutiyoso tak luput dari pemeriksaan polisi walau hanya berstatus sebagai saksi. Namun pemeriksaan terhadap SBY di tengah pertarungan pemilu presiden melahirkan tudingan bahwa ada nuansa politis dalam kasus ini. Sebab, SBY adalah pesaing Megawati dalam pemilihan presiden 2004.