TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra, Andre Rosiade menyebutkan dalam pertemuan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri tidak akan dibahas soal posisi Ketua MPR. "Ini merupakan silaturahmi kebangsaan saja, yang dilakukan dua tokoh bangsa," kata Andre, di Jakarta, Rabu, 24/7.
Pertemuan antara Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto itu direncanakan digelar di Jalan Teuku Umar, Jakarta, Rabu ini. Andre mengatakan keinginan Gerindra untuk menduduki posisi ketua MPR tidak dibahas mengingat perolehan suara Gerindra dalam Pileg 2019 berada di urutan kedua.
Baca Juga:
Andre berharap Presiden Joko Widodo juga bisa hadir dalam pertemuan itu, sehingga dapat menurunkan polarisasi di masyarakat. "Harapannya kalau pertemuan itu terwujud, Indonesia semakin guyub, polarisasi semakin menurun, dan juga kebersamaan kita sebagai anak bangsa dan NKRI," kata Andre.
Andre mengatakan Rapat Dewan Pembina Gerindra pekan lalu memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada Prabowo untuk memutuskan sikap politik partai sesuai Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai. Karena itu tinggal tergantung Prabowo untuk memutuskan dan mengumumkan sikap politik Partai Gerindra ke depan. “Semua kader partai akan mendukung keputusan tersebut.”
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, mengatakan pertemuan para Ketua Umum Partai pendukung Joko Widodo dengan Surya Paloh, pekan lalu, plus rencana persamuhan antara Megawati Soekarnoputri - Prabowo Subianto bukan tanpa kebetulan.
"Ini tanda-tanda ada dinamika internal di koalisi Jokowi soal perkembangan politik mutakhir, misalnya soal kemungkinan Gerindra merapat, posisi ketua MPR, dan seterusnya," ujar Adi, Selasa malam, 23/7.
Pertemuan dua ketua umum partai besar yang berhadap-hadapan dalam Pemilihan Presiden atau Pilpres ini, kata Adi, dinilai sebagai bagian dari bicara politik kenegaraan soal kemungkinan apa yang bisa disinergikan antara Gerindra dengan pemerintah. "Kawin silang visi atau politik akomodatif," ujar Adi.
DEWI NURITA | ANTARA