TEMPO.CO, Jakarta - Pascaputusan Mahkamah Konstitusi ihwal sengketa pemilihan presiden 2019, partai-partai politik pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memiliki keleluasaan untuk menentukan sikap dan posisi. Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat, kini bebas memilih apakah akan tetap berada di luar pemerintahan atau merapat ke koalisi pemerintah.
Baca: Koalisi Bubar, Apa yang Akan Dilakukan Partai Pengusung Prabowo?
Sebelumnya, partai yang acap disebut-sebut bakal merapat ke koalisi pemerintah ialah Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat. Namun, belakangan malah Partai Gerindra yang seakan mendapat "karpet merah" dari koalisi Joko Widodo-Ma'ruf Amin ketimbang dua partai biru berbendara biru itu.
"Menurut saya Gerindra itu justru lebih apa ya sebagai penghormatan ya harus kalau memang disepakati nanti perlu bertambah itu Gerindra harus mendapat kesepatan pertama untuk ditawari," kata Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf, Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 28 Juni 2019.
Baca: Poin Pertemuan Prabowo dan Elite Pengusung Sebelum Koalisi Bubar
Lantas apa kata partai-partai lain ihwal kemungkinan berpindah ke koalisi Jokowi-Ma'ruf ini?
-Partai Gerindra
Sejumlah sumber sebelumnya menyebutkan Gerindra mendapat tawaran 2 kursi menteri, 1 kursi wakil ketua Majelis Permusyawsratan Rakyat, dan 2 kursi Dewan Pertimbangan Presiden dari pihak Jokowi. Tawaran ini dikenal dengan istilah 212. Namun sejumlah kader Gerindra berpandangan bahwa partai bentukan Prabowo Subianto ini tak perlu serta merta merapat ke koalisi pemerintah.
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan wacana rekonsiliasi yang acap dilontarkan kubu Jokowi mestinya tak sekadar dimaknai sebagai bagi-bagi kekuasaan. Menurut dia, yang utama dari rekonsiliasi ialah jangan ada lagi dendam, perasaan kalah-menang, kuat-lemah atau dilemahkan.
"Jangan ada rekonsiliasi, terus menerus seseorang disangkakan, dipenjara, dituduh satu dan lain hal tanpa kesalahan dan sebagainya," kata Muzani di Jalan Sriwijaya I Nomor 35, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Ketua DPP Partai Gerindra Sodik Mudjahid berpandangan, partainya tak mesti bergabung dengan pemerintah untuk berkontribusi bagi bangsa. Wakil Ketua Komisi Sosial Dewan Perwakilan Rakyat ini menilai Gerindra bisa menjadi penyeimbang dan pengawas bagi pemerintah nantinya.
"Perjuangan untuk bangsa dan rakyat tidak selalu dalam bentuk bergabung dengan pemerintah," kata Sodik kepada Tempo, Jumat, 28 Juni 2019.
Meski begitu, keputusan akhir akan tetap berada di tangan Prabowo selaku Ketua Dewan Pembina partai. Ahmad Muzani mengatakan, berdasarkan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Gerindra, wewenang menentukan sikap itu ada pada Ketua Dewan Pembina.
"Kebijakan ketua dewan pembina mutlak untuk mengambil langkah internal dan eksternal. Tapi kelaziman dan kebiasaan Pak Prabowo selalu melakukan rapat dewan pembina dan rapat Dewan Pimpinan Daerah seluruh Indonesia," kata Muzani. Sejauh ini, ujarnya, belum ada rapat membahas hal tersebut.
-PKS
Presiden PKS Sohibul Iman mengatakan segala kemungkinan terbuka dalam politik, termasuk seumpama partainya diajak bekerja sama dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf di parlemen. Sebagaimana diketahui, PKS saat ini memiliki perwakilan di kursi pimpinan MPR. Partai dakwah ini pun mesti bekerja sama dengan partai-partai koalisi Jokowi yang lain jika ingin membentuk paket pimpinan MPR.
Menurut Sohibul, sikap partai ke depan akan diputuskan oleh Majelis Syuro PKS. "Kami lihat perkembangan politik yang ada, dan yang kedua ialah bagaimana sikap Majelis Syuro," kata Sohibul di Jalan Kertanegara Nomor 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat, 28 Juni 2019.
Sekretaris Jenderal PKS Mustafa Kamal mengatakan sikap partainya tak akan jauh dari dari koridor yang selama ini sudah terbentuk. Dia juga mengakui jati diri PKS selama ini ialah berada di luar pemerintahan alias menjadi oposisi. Dalam hal ini, PKS juga akan menimbang suara konstituen.
"Kami akan memperhatikan aspirasi masyarakat, karena konsistensi di perpolitikan Indonesia diperlukan hari ini," kata Mustafa di Jalan Sriwijaya I Nomor 35, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat, 28 Juni 2019.