TEMPO.CO, Jakarta - Guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej berpendapat bahwa kecurangan Pemilu baru bisa diadili jika memenuhi unsur terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) secara bersamaan. Edward menyatakan hal itu saat menjadi saksi ahli yang diajukan kubu Joko Widodo - Maruf Amin dalam sidang sengketa pilpres di gedung Mahkamah Konstituis, Jakarta, Jum'at, 21/6.
Baca juga: Sindir Kubu 02, Saksi Ahli: MK Jangan Diajak Jadi Mahkamah Koran
Eddy menegaskan kecurangan TSM baru bisa dibuktikan jika terjadi di lebih dari setengah jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pendapat itu merujuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Ia menjelaskan, defenisi sistematis dalam hal ini ketika kecurangan dilakukan dengan rencana matang dan rapi. Sementara terstruktur berbicara soal rantai komando dalam kecurangan. "Kecurangan itu pasti by intention, tidak mungkin karena kealpaan. Sehingga niat memang harus dibuktikan. Lalu terstruktur dan sistematis ini yang kemudian menimbulkan dampak masif," ujar dia.
Terkait unsur masif, Eddy menyampaikan kecurangan pemilu harus bisa dibuktikan jika memiliki dampak luas dalam perolehan suara di wilayah yang sangat luas.
"Kecurangan harus bisa dibuktikan terjadi di separuh lebih dari 810.329 TPS yang ada. Kalau sangat luas itu berarti kalau kita mau pakai metode kuantitatif, 50 persen plus satu. Kalau ada 800 ribu TPS, (harus) ada 400.001 TPS yang kira-kira begitu (TSM), kalau pakai kuantitatif," kata dia.
Hal yang sama diungkapkan Saksi Ahli Tim Hukum Jokowi-Ma'ruf, Heru Widodo. Menurut dia, kecurangan yang bersifat TSM menjadi prasyarat mengulang pemilihan presiden, seperti petitum tim hukum Prabowo-Sandi dalam sidang sengketa pilpres MK.
Heru mengatakan, seandainya gugatan tak memenuhi prasyarat di atas diajukan ke MK, maka bisa ditolak dengan catatan harus ada eksepsi tentang kewenangan lembaga yang mengadili. "Manakala mahkamah berkeyakinan perkara ini di bawah kewenangan Bawaslu, ini bisa ditolak di eksepsi. Jika tidak ada dalam eksepsi bisa ditolak dalam pokok perkara," kata Heru dalam sidang MK.