TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner KPU RI Periode 2012-2017, Sigit Pamungkas mengungkapkan sulit bagi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi membuktikan telah terjadi pemilu curang, yakni yang terstruktur, sistematis dan massif (TSM) dalam gelaran Pilpres 2019.
Baca Juga: Bawaslu Ungkap Bukti Laporan BPN Prabowo Hanya Link Berita Online
Sigit menerangkan, merujuk pada peraturan Bawaslu Nomor 8/2018, TSM itu ada yang bisa dikuantifikasi, ada yang tidak. Untuk yang bisa dikuantifikasi pelanggarannya harus memenuhi syarat terjadi di 50 persen provinsi yang ada.
Sedangkan untuk yang tidak bisa dikuantifikasi, harus yang berpengaruh pada hasil. “Mereka (BPN) harus bisa menunjukkan derajat massifitasnya, kalau tidak bisa menunjukkan, ya, ditolak," katanya dalam diskusi di Jakarta, Senin, 20/5.
Diskusi publik dan buka bersama dengan tema 'Menakar Kuantifikasi Pelanggaran TSM dalam Pemilu 2019 itu dimoderatori Nelson Simanjuntak dari Bawaslu. Hadir juga para praktisi hukum yakni Heru Widodo dan Teguh Samudera.
Sigit Pamungkas yang kini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) menyampaikan bahwa agak sulit bagi BPN untuk membuktikan kecurangan KPU sebagaimana yang mereka tuduhkan. "Melihat dari hasil rekapitulasi yang ada, selisihnya adalah 17 juta, agak sulit membuktikannya. Karena itu berarti 59 ribu TPS dengan asumsi seluruh TPS suaranya ke 02 semua," kata dia.
Sigit Pamungkas juga menjelaskan seringkali terjadi kesalahpahaman di masyarakat terkait pelanggaran pemilu. Dia menunjuk adanya diksi “KPU Curang” yang sebenarnya itu merupakan stigma. Alias, hampir pasti semua kekeliruan yang terjadi dalam pemilu dilabeli curang.
Padahal, kata Sigir, kekeliruan itu belum tentu sebuah bentuk kecurangan. Tetapi, “Bisa saja mal administrasi, kesalahan wajar dari seorang penyelenggara pemilu karena faktor-faktor kecapekan, faktor kesehatan mempengaruhi ketelitian dia,” kata dia. “Ini sebenarnya problematik, ketika semua kekeliruan dianggap sebagai sebuah kecurangan."
ANTARA