TEMPO.CO, Jakarta - Calon wakil presiden Ma’ruf Amin dan Sandiaga Salahuddin Uno beradu argumen selama 90 menit dalam debat putaran ketiga di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu malam, 17 Maret 2019. Kedua kandidat mengutarakan perbedaan fokus program dalam sawala yang bertema pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial, dan kebudayaan.
Baca: Debat Cawapres, Megawati Senyum Mendengar Istilah Ma'ruf Amin Ini
Di sektor pendidikan, misalnya, Ma’ruf berencana membuat Badan Riset Nasional sebagai lembaga koordinasi antara kementerian dan lembaga untuk mengelola dana riset. Menurut dia, badan riset ini bukan menambah kelembagaan, melainkan efektivitas kolaborasi antara pemerintah, akademikus, dunia usaha, dan industri. “Kami sudah sepakat untuk menyediakan dana abadi riset, di samping dana abadi pendidikan, dan dana abadi kebudayaan,” ujar Ma’ruf.
Sandiaga berpendapat rencana itu tidak efektif. Menurut dia, kehadiran badan itu berpotensi menambah rantai birokrasi dalam pengelolaan riset. Ia pun memprioritaskan adanya kolaborasi antara periset dan industri karena banyaknya hasil riset yang tak tersambung dengan dunia usaha. “Kami akan memastikan dunia usaha mendapatkan insentif untuk investasi di dunia riset, baik fiskal maupun non-fiskal,” kata dia. Di sektor ini, Sandiaga juga berencana menghapus ujian nasional, serta menggantinya dengan penelusuran minat dan bakat.
Perbedaan pendapat minim terjadi sewaktu kedua kandidat berdebat persoalan di sektor kesehatan. Ma’ruf menyoroti capaian pemerintah dalam program Jaminan Kesehatan Nasional melalui Kartu Indonesia Sehat. Ia berfokus untuk peningkatan kualitas layanan disertai dengan distribusi tenaga medis dan suplai obat-obatan yang merata. Ma’ruf pun menyebutkan langkah preventif dan promotif kesehatan melalui Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga. “Ini bisa mencegah stunting. Mendatang, kami menargetkan angka stunting turun 10 persen.”
Baca: Ingin Andalkan KTP, Sandiaga Ogah Bebani Negara dengan Kartu Lain
Sandiaga mengkritik pengelolaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Selain diskriminasi dalam pelayanan pasien BPJS, ia menyinggung permasalahan pengelolaan BPJS seperti tenaga medis yang tak mendapatkan bayaran tepat waktu, pelayanan rumah sakit yang buruk, dan ketersediaan obat yang terbatas. “Kami akan membenahi sistem rujukan. Kami melihat pola rujukan menjadi pola pelayanan kesehatan agar tak menunggu berjam-jam di rumah sakit,” kata dia.
Konsep kedua kandidat dalam membahas strategi mengatasi persoalan pengangguran juga hampir sama. Ma’ruf mengatakan kubu Jokowi berfokus pada revitalisasi pendidikan vokasi, baik sekolah kejuruan, politeknik, maupun balai latihan kerja. Melalui Kartu Prakerja, mereka mengajak dunia usaha dan industri untuk mengatasi kesesuaian kebutuhan tenaga kerja dan ketersediaan lapangan kerja. “Pemerintah sudah membangun infrastruktur darat, laut, udara, dan langit melalui Palapa Ring. Kami mendorong tenaga kerja kita menguasai teknologi, terutama teknologi digital,” ucapnya.
Sementara itu, Sandiaga menyiapkan Rumah Siap Kerja untuk mengatasi kesenjangan kompetensi tenaga kerja dan lapangan kerja yang tersedia. Program layanan satu pintu itu, menurut dia, bertujuan untuk mengarahkan tenaga kerja menjadi wirausaha. “Kalau bisa, mereka bisa bergabung dengan program OK OCE. Kami yakin mereka bisa mendapat peluang,” katanya.
Debat sempat memanas ketika menyinggung keberadaan tenaga kerja asing. Ma’ruf menyatakan pekerja asing diperbolehkan dengan diiringi transfer pengetahuan dan teknologi kepada pekerja lokal. “Supaya anak-anak kita terampil dan memiliki akses keuangan,” kata dia. Sementara itu, Sandiaga berpendapat pekerja asing di Indonesia harus menguasai bahasa Indonesia. “TKA harus terukur dengan aspek keadilan,” ucap Sandiga.
Baca: Ma'ruf Amin Sebut Program Sadakah Putih Sandiaga Mengacaukan
Koordinator BPJS Watch, Timbul Siregar, mengatakan kedua kandidat, Ma'ruf Amin dan Sandiaga, belum mampu menyajikan solusi yang konkret dalam sengkarut BPJS Kesehatan, pendidikan, dan ketenagakerjaan. “Ini harus ada langkah komprehensif. Kalau tidak sistemik, persoalan akan selalu muncul,” ujarnya. Menurut dia, keduanya pun gagal menyajikan solusi konkret dalam mengatasi pekerja asing ilegal dan penyelesaian perlindungan guru honorer dan sistem outsourcing.
ARKHELAUS WISNU | REZKI ALVIONITASARI