TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Rachland Nashidik mengatakan Presiden Joko Widodo-lah yang mesti disalahkan atas keputusan partainya mendukung pasangan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno. Rachland menanggapi pernyataan Jenderal Tentara Nasional Indonesia (purn) Agum Gumelar yang mengaku heran dengan sikap Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di pemilihan presiden 2019.
"Salahkan Pak Jokowi," kata Rachland melalui keterangan tertulis kepada Tempo, Rabu, 13 Maret 2019.
Tonton: Video Agum Gumelar soal Prabowo Dipecat dari TNI, Ini Respons BPN
Dalam sebuah video yang diunggah Ulin Niam Yusron sebelumnya, Agum mengaku heran dengan keputusan SBY mendukung Prabowo. Sebab, kata Agum, mantan presiden dua periode itu sebelumnya menjadi anggota Dewan Kehormatan Perwira yang ikut menandatangani rekomendasi pemberhentian Prabowo dari militer.
Agum mengatakan semua anggota DKP menandatangani surat rekomendasi pemberhentian itu. Adapun anggota DKP ialah Subagyo Hadi Siswoyo, Fachrul Razi, Arie J. Kumaat, Yusuf Kartanegara, Djamari Chaniago, SBY, dan Agum.
"SBY tanda tangan, semua tanda tangan. Ya, walaupun saya heran ini yang tanda tangan rekomendasi, kok, malah sekarang mendukung (Prabowo)," kata Agum dalam video tersebut.
Rachland mengatakan SBY hanya mengikuti keputusan rapat pimpinan nasional (Rapimnas) Partai Demokrat. Rapimnas memutuskan Demokrat harus memiliki calon presiden, baik kader sendiri maupun bukan. Sebab jika tidak, partai berlambang bintang mercy ini tak akan bisa mengajukan calon presiden di pilpres mendatang.
"Lagi pula, satu-satunya kubu koalisi yang membuka pintu bagi kami adalah kubu Pak Prabowo - Sandi," kata Rachland.
Rachland mengatakan, publik baru akan mengetahui berapa banyak yang memilih Prabowo pada 17 April nanti. Namun kata dia, publik sudah mengetahui bahwa sedari awal Jokowi sendirilah yang memilih Prabowo sebagai satu-satunya pesaingnya di pilpres 2019.
Agum Gumelar sebagai anggota Wantimpres, kata Rachland, seharusnya menasihati Jokowi agar mengendalikan ambisinya terhadap kekuasaan. "Sayang sekali beliau tidak menasihati Presiden untuk sedikit mengendalikan ambisinya berkuasa lagi agar tidak merusak bangunan demokrasi kita," kata dia.
Rachland merujuk pada ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen yang ada dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Aturan itu menyebutkan, hanya partai politik atau gabungan partai politik yang meraup 20 persen suara legislatif atau 25 persen suara nasional di Pemilihan Umum 2014 yang bisa mencalonkan presiden.
Menurut Rachland, Jokowi dan partai koalisi pendukungnyalah yang memaksakan presidential threshold sebesar 20 persen ini. Rachland menyebut aturan ini memerangkap partai-partai politik masuk ke dalam dua polar koalisi besar. Tujuannya, kata dia, ialah memastikan laga ulang antara Jokowi dan Prabowo.
"Pak Jokowi bukan saja melakukan penggusuran berencana pada bangunan demokrasi, namun juga membatasi kebebasan memilih warga hanya pada dirinya dan Pak Prabowo," kata Rachland.
Rachland berujar, dukungan kepada Prabowo-Sandiaga adalah upaya partainya menegakkan demokrasi elektoral. Demokrat ingin memastikan presiden yang gagal menepati janjinya tak dipilih lagi.