TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah perwakilan komunitas tenaga kesehatan mengeluhkan imbas program Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kepada calon presiden Prabowo Subianto. Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Hanif Fadhillah misalnya, mengatakan perawat belum menerima benefit dari program BPJS Kesehatan ini.
"Perawat dengan adanya BPJS JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) sama saja. Harapan kami ada perbaikan regulasi," kata Hanif di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis, 28 Februari 2019.
Hanif sebelumnya menuturkan bahwa masih ada beberapa persoalan lain terkait keperawatan. Di antaranya malfungsi dan maldistribusi perawat, khususnya di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang ada di daerah. Adapun ihwal kesejahteraan, dia mengatakan perawat di sektor swasta hanya dianggap sebagai pegawai biasa sehingga tidak menerima tunjangan profesi.
Hanif berharap ada perbaikan regulasi sehingga kesejahteraan perawat bisa lebih terjamin. Dia juga meminta adanya keputusan presiden (keppres) terkait pengangkatan perawat non-PNS menjadi PNS.
Lebih lanjut, dia berharap sistem JKN bisa komprehensif dan berdampak bagi semua pihak. Dia juga meminta Prabowo segera membentuk aturan turunan dari Undang-undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan seumpama terpilih menjadi presiden.
Komunitas berikutnya yang mengeluhkan persoalan JKN ialah Ikatan Bidan Indonesia. Ketua Umum IBI Emi Nurjasmi mengatakan bidan sangat terdampak dengan adanya JKN, yakni mereka menjadi dibayar amat murah. Selain itu, para bidan juga menghadapi persoalan birokrasi yang berbelit dalam bekerja sama dengan BPJS.
"Kami tidak bisa bekerja sama langsung dengan BPJS, tapi harus menjadi jejaring lain, dokter, Puskesmas, dan ini banyak eksesnya," kata Emi di lokasi yang sama.
Acara dialog dengan Prabowo ini melibatkan tujuh komunitas kesehatan. Lima komunitas lainnya ialah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi).
Kelima komunitas tersebut juga menyampaikan keluhan dan permintaan kepada Prabowo. IDI mempersoalkan anggaran kesehatan yang dinilai masih kelewat kecil dibandingkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sekretaris Jenderal IDI, Hendrik Siregar mengatakan, anggaran untuk kesehatan semestinya minimal 5 persen dari PDB.
"Kemudian soal perbaikan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan, distribusi tenaga kesehatan, dan perlindungan hukum," kata Hendrik.
IAKMI juga menyoroti cekaknya anggaran kesehatan dibandingkan PDB. Menurut Ketua IAKMI Ridwan Thaha, sistem pembiayaan harus adil demi pemerataan di bidang lainnya.
Berikutnya, Ketua PDGI Sri Hananto Seno juga berbicara soal pemerataan tenaga kesehatan dokter gigi. Dia menyinggung mahalnya pendidikan kedokteran gigi menjadi salah satu faktor persebaran jumlah dokter gigi tak merata di seluruh Indonesia. Sebab, lulusan cenderung ingin bertugas di kota besar agar bisa membuka praktik dengan tarif yang tinggi pula.
Berita terkait: Prabowo Anggap Defisit BPJS Kesehatan Rp 20 T Masalah Kecil
Adapun dari program JKN, kata Sri Hananto, dokter gigi hanya dibayar Rp 2.000 per pasien dari BPJS Kesehatan. "Ini penghinaan terhadap profesi kami. Kalau mengharapkan rakyat sejahtera, sejahterakan dulu dokternya," kata dia.
Ketua Umum IAI Nurul Falah kemudian menyampaikan dua permintaan kepada Prabowo. Pertama, IAI menginginkan agar pucuk-pucuk pimpinan kementerian dan lembaga yang terkait kesehatan adalah orang yang benar-benar mumpuni. Sebab, kata dia, industri apoteker kini dibayangi dengan bahaya obat-obat yang mengandung psikotropika dan narkotika.
Kedua, IAI meminta pemerintah mendatang menginiasi Rancangan Undang-undang Kefarmasian. Nurul Falah mengatakan payung hukum ini penting untuk melindungi masyarakat dan konsumen obat.
"Kefarmasian adalah unsur ketahanan bangsa, begitu digoyang obat palsu, obat ilegal, masyarakat kita tidak terlindungi," ujar Falah.
Berikutnya, Ketua Persagi Minarto menyoroti persoalan masih minimnya jumlah ahli gizi di Indonesia. Kata dia, di Indonesia saat ini baru ada 40 ribu tenaga ahli gizi. Padahal, jumlah optimal ahli gizi yakni 250 ribu di seluruh Indonesia.
Minarto mengatakan keberadaan ahli gizi penting untuk membantu masyarakat mencegah kekurangan atau kelebihan gizi. Menurut dia, hal ini bakal berdampak penting terhadap program kesehatan nasional secara keseluruhan.
"Seperti kita tahu yang masih jadi masalah saat ini adalah stunting dan obesitas," kata Minarto.
Di akhir acara, Prabowo mengatakan berbagai masukan itu telah dicatat oleh timnya. Dia mengatakan telah menangkap aspirasi-aspirasi tersebut dan optimis semua bisa diselesaikan. "Saya tidak mau meremehkan, masalahnya besar. Tapi masalahnya bisa diatasi semua ini," kata Prabowo.