TEMPO.CO, Yogyakarta - Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian (JGD) Alissa Qotrunnada Munawaroh atau Alissa Wahid menyarankan masyarakat untuk memilih atau tidak golput dalam Pemilihan Umum 2019.
Baca: Menristekdikti Ajak Mahasiswa dan Dosen Tidak Golput
“Lebih baik memilih dalam konteks untuk menentukan wajah kepemimpinan masa depan,” kata Alissa seusai acara memorial lecture “Ziarah Pemikiran Gus Dur” di University Club Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sabtu, 23 Februari 2019.
Acara tersebut merupakan rangkaian dari peringatan haul atau wafat Presiden Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Alissa menyarankan masyarakat untuk tidak golput karena situasi sekarang ini berbeda dengan zaman Orde Baru, yang calonnya hanya satu. Pemilu 2019 diikuti dua kontestan sehingga calon pemilih bisa mendapatkan pemimpin yang mereka anggap ideal.
Golput atau memilih dalam pemilu mendatang tetap akan menghasilkan pemenang dan kebijakan yang presiden buat nantinya berdampak buat mereka. “Pelajari dulu deh lebih dalam sebelum memutuskan golput atau tidak,” kata Alissa.
Dia menghormati orang yang golput sebagai peringatan kepada dua kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kalau tidak muncul gerakan golput, maka kedua kubu akan nyaman-nyaman saja dengan ketidakjelasan kampanye mereka.
Dia menekankan bahwa golput merupakan hak semua orang dan boleh dilakukan. Bahkan, Gus Dur, ayahanda Alissa menyebut golput sesuatu yang layak dilakukan oleh orang yang menganggap aspirasi politiknya tidak terwadahi. Tapi, dalam situasi seperti sekarang ini, Alissa meyakini bila Gus Dur masih hidup, maka dia akan memilih. Dia mencontohkan tahun 2004, Gus Dur terlibat dalam politik praktis.
Gerakan Golput pada Pemilu 2019 muncul karena kedua calon masih kurang kuat menekankan mengapa masyarakat layak memilih mereka. Alissa menilai upaya dua calon untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang strategi atau konsep bernegara masih kurang.
Dia mengkritik dua kubu dan tim kampanyenya yang cenderung saling perang, saling hajar, dan berusaha menunjukkan kelemahan lawannya. Alissa prihatin keduanya menggunakan simbol agama dalam kampanye. “Banyak orang yang muak sehingga nggak bisa melihat apa bedanya demokrasi yang dibawa oleh dua calon ini. Kebijakan ekonomi apa yang akan mereka usung,” kata dia.
Ia berharap tim kampanye dua calon bekerja lebih dengan tawaran kebijakan yang mencerahkan masyarakat. Dalam konteks saling serang karena dua calon membawa isu agama ini, Alissa menyarankan agar masyarakat kritis dan berani bersuara untuk melawan sentimen agama yang membahayakan publik dalam jangka panjang.
Peran mereka yang terdidik dan kritis ini penting untuk membantu kalangan yang belum mendapatkan pendidikan politik yang cukup. “Politisi dan timnya hanya berpikir soal konteks lima tahunan. Kelompok yang kritis harus bersuara kencang seperti yang golput sebagai bentuk peringatan,” kata Alissa.