TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan istilah Propaganda Rusia menjadi polemis di media masa dan dunia maya setelah diucapkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi di Surabaya, Sabtu, 2 Februari 2019. Istilah itu, menurut Jokowi merujuk pada cara-cara berpolitik yang dilakukan dengan cara menyampaikan dusta, fitnah dan hoax.
Pernyataan Jokowi tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai penjuru, termasuk Kedutaan Besar Rusia untuk Indonesia. Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Verobieva menyatakan tak terima dengan penggunaan istilah Propaganda Rusia tersebut.
Melalui akun Twitter resmi, Lyudmila menjelaskan istilah itu direkayasa pada 2016 di Amerika Serikat dalam rangka kampanye pemilu presiden. Istilah tersebut sama sekali tidak berdasarkan pada realitas. "Kami menggarisbawahi posisi prinsipil Rusia adalah tidak campur tangan pada urusan dalam negeri dan proses-proses elektoral di negara-negara asing, termasuk Indonesia yang merupakan sahabat dekat dan mitra penting kami," ujar Lyudmila, dalam keterangannya pada Senin, 4 Februari 2019.
Berikut beberapa fakta yang terkait dengan diksi Propaganda Rusia tersebut.
1. Mulai Dikenal Sejak 2016
Istilah propaganda Rusia atau apa yang dikenal sebagai Firehose of Falsehood mulai banyak dikenal pada 2016, setelah lembaga think-tank asal Amerika Serikat RAND Corporation menerbitkan sebuah studi mengenai hal itu. Dalam sebuah jurnal yang berjudul Teh Russian "Firehouse of Falsehood" Propagana Model: Why Might It Work and Options to Counter It, RAND Corporations meneliti mengenai fenomena ini.
Ditulis oleh Christopher Paul dan Miriam Matthews, studi ini mengungkap bahwa strategi Firehouse of Falsehood memanfaatkan kondisi psikologis seseorang yang terpapar informasi secara terus-menerus. Keberhasilan strategi ini, banyak berutang pada banyak ilmu-ilmu yang berakar pada cabang psikologi.
Studi terebut mengungkapkan strategi ini memiliki cirri, yakni memanfaatkan banyak sekali saluran informasi untuk membangun sebuah kepercayaan. Informasi yang akan dibangun tersebut disalurkan dalam jumlah yang banyak, cepat, terus-menerus serta diulang-ulang. Dengan cara ini orang-orang yang terpapar akan merasa informasi tersebut sebagai sebuah hal yang realistis, kredibel dan dianggap benar.
2. Jokowi Bukan yang Pertama
Pernyataan Jokowi soal cara berpolitik penuh kebohongan itu bukan pertama kali dilontarkan kubunya. Pada Oktober 2018 lalu, influencer Tim Kampanye Nasional Jokowi - Ma'ruf, Budiman Sudjatmiko pernah mengunkpakan hal itu saat pecah kasus hoaks Ratna Sarumpaet.
Budiman saat itu menuding kubu Prabowo Subianto menggunakan propaganda politik seperti yang digunakan Donald Trump saat memenangkan pemilihan presiden di Amerika Serikat pada 2016. Propaganda yang dimaksud adalah teknik berkampanye Firehouse of Falsehoods, dengan memanfaatkan kebohongan sebagai alat politik.
Budiman menjelaskan kebohongan yang dilakukan aktivis Ratna Sarumpaet merupakan sesuatu yang sudah bisa diprediksi. Bahkan, kata dia, pada pilkada 2017, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjadi korban dari strategi itu dan harus ditahan karena kasus Al-Maidah ayat 31.
"Potongan pidato Ahok ternyata bisa dipakai untuk memobilisasi dukungan maupun sikap antikelompok tertentu dan itu adalah kerja Cambridge Analytica," ujar Budiman di Posko Cemara, Jakarta pada Jumat, 5 Oktober 2018.
3. Disebut juga Strategi Selang Pemadam Kebohongan
Apa yang disebut oleh Jokowi sebagai propaganda Rusia sebetulnya serupa dengan konsep yang disebut sebagai Selang Pemadam Kebohongan atau Firehose of Falsehood. Konsep ini, seperti sudah disinggung sebelumnya, serupa seperti model strategi kampanye milik Donald Trump saat menuju kursi Presiden Amerika Serikat.
Juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo atau Jokowi - Ma'ruf Amin, Ace Hasan Syadzily menduga Prabowo cs menggunakan strategi yang hampir sama dengan strategi Firehose of Falsehood itu. "Itu adalah strategi yang sebetulnya mirip-mirip,. Misalnya menyerang terus menggunakan data-data yang diduga mengandung kebohongan, hoax, dan lain-lain," kata Ace di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 4 Februari 2019.
DIAS PRASONGKO | DEWI NURITA | RYAN DWIKI