TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan mengatakan tak dapat berkomentar banyak terkait pernyataan Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Djoko Santoso yang menyebutkan capres Prabowo Subianto akan mundur jika terdapat kecurangan pada Pilpres 2019. Menurut Wahyu, permasalahan capres-cawapres telah diatur dalam undang-undang.
"Jadi hak dan kewajiban pasangan calon setelah ditetapkan sebagai peserta pemilu itu ada hak dan kewajiban," ujar Wahyu di kantor KPU, Jakarta, 14 Januari 2019.
Aturan yang dimaksud Wahyu adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pada Pasal 236 Ayat 1 UU tersebut menyatakan bakal pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 Ayat 1 huruf f dilarang mengundurkan diri. Hal itu terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU.
Simak: Komposisi Dana Kampanye dalam LPSDK Jokowi - Maruf dan Prabowo - Sandi
Jika salah seorang capres atau cawapres mengundurkan diri, akan ada sanksi hukum berupa pidana pemilu. Dalam pasal 552 Ayat 1 UU 7 Tahun 2017 menyebutkan setiap capres atau cawapres yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 50 miliar.
Selain itu, capres dan cawapres yang diusung gabungan partai politik sudah menyepakati calonnya tak akan mundur. Hal itu diatur dalam Pasal 229 Ayat 1 Huruf f yang menyebutkan gabungan partai politik dalam mendaftarkan bakal pasangan calon ke KPU wajib menyerahkan surat pernyataan dari bakal calon tidak akan mengundurkan diri.
Sebelumnya, Djoko Santoso mengatakan Prabowo Subianto dapat saja mundur jika terjadi potensi kecurangan dalam pilpres. Salah satunya, kata dia, terkait hak pilih penyandang disabilitas mental.
Djoko menilai, penyandang disabilitas mental yang diberikan hak pilih ini dapat membuat potensi kecurangan dalam pemilu. Sebab, suara pemilih dari tuna grahita tak dapat dipertanggungjawabkan.
SYAFIUL HADI