TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Gun Gun Heryanto, mengatakan masa kampanye yang berlangsung hampir tiga bulan ini miskin dialektika dari para kandidat capres. Justru, kata dia, yang mencolok adalah saling serang untuk mendelegitimasi lawannya
Gun Gun menjelaskan dari sisi ilmu komunikasi politik hal tersebut dikenal istilah verbal aggressiveness dan argumentativeness. Pada masa kampanye kali ini, kata dia, verbal aggressiveness jauh lebih menonjol.
Baca: LSI Denny JA: Kedua Capres Belum Maksimal Kampanyekan Program
"Verbal aggressiveness lebih banyak menohok orang lain. (Menohok) Ide dan kehormatan orang lain dengan tujuan mendelegitimasi," kata Gun Gun dalam diskusi Hitam Putih Kampanye Pilpres di D'Consulate Resto&Lounge, Jakarta, Sabtu, 15 Desember 2018.
Adapun argumentativeness adalah berdialektika tentang hal-hal yang menjadi urusan hajat orang banyak. "Termasuk gagasan dan ide," ujarnya.
Dosen Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini menuturkan kampanye adalah momen penting dalam kontestasi elektoral. Dalam kampanye, kata dia, seharusnya tidak hanya bicara soal kepentingan kandidat melainkan juga ada aspek edukasi ke khalayak luas.
Baca: Survei LSI Denny JA: Enam Isu Ini Beri Efek Elektoral bagi Capres
Menurut Gun Gun, jika dilihat dari etos demokratik, maka kampanye harus mempertimbangkan soal nilai. Sebab, kampanye mempertontonkan banyak hal mulai dari pikiran, tindakan, perasaan, dan lainnya.
Gun Gun mencontohkan merebaknya hoax dan ujaran kebencian seharusnya bisa diantisipasi sejak awal. Namun hal ini justru terjadi lantaran politikus lebih menonjolkan verbal aggressiveness-nya.
Baca: Sebab Cekcok Beda Capres Berujung Maut: Rakyat Hanya Alat Politik